“Merokok Karena Depresi” Atau “Depresi Karena Rokok”?
Seakan tidak bisa lepas, hampir setiap hari Anda menjumpai rokok. Mulai dari penggunanya, hingga iklan-iklan terkait rokok di papan reklame maupun di media telekomunikasi. Ironisnya, rokok juga sering kali ditemukan sebagai sponsor di beberapa acara olahraga.
Selain karena citarasa khas, rokok berkembang menjadi sebuah gaya hidup dalam pergaulan anak muda. Meski mulanya coba-coba, tidak sedikit mereka yang akhirnya “kecanduan” rokok. Akhirnya, rokok jadi satu elemen yang tidak bisa dipisahkan, baik dalam obrolan ringan maupun kebiasaan.
Mayoritas orang mengaku, hanya merokok saat depresi atau memiliki beban pikiran. Namun, benarkan rokok bisa menjadi solusi untuk mengatasi depresi? Atau, justru sebaliknya?
Rokok dan Kualitas Kesehatan Otak
Jika membaca jurnal-jurnal atau artikel kesehatan yang berkaitan dengan kesehatan otak, kita akan mendapat sebuah fakta-fakta yang tak jarang luput dari perhatian orang. Salah satunya, perihal korelasi kualitas kesehatan otak dengan pasokan oksigen yang dapat ditampung oleh paru-paru. Semakin banyak oksigen ditampung, semakin banyak pula yang disebarkan melalui sistem peredaran darah, termasuk ke otak. Oksigen dibutuhkan oleh otak untuk menjaga kualitasnya.
Di sisi lain, kebiasaan merokok sudah kita ketahui bersama merusak sistem paru. Yang paling mudah kita rasakan ialah, napas menjadi lebih pendek. Dengan kata lain, pasokan oksigen juga lebih sedikit. Oksigen yang tidak bisa ditampung sempurna dalam paru-paru, juga berarti tidak dapat disebarkan secara maksimal ke seluruh tubuh, termasuk otak. Hal ini sedikit banyak berimplikasi pada kadar depresan seseorang, jika berbicara soal kebutuhan oksigen untuk kesehatan otak.
Memang hal ini masih perlu dibuktikan korelasinya oleh pakar kesehatan. Namun yang pasti, beberapa penelitian membuktikan adanya korelasi antara kadar nikotin dalam rokok dengan tingkat depresan seseorang.
Misalnya saja penelitian yang dilakukan Health Me Up (23/10) terhadap 3.000 orang pada tahun 2008, perokok memiliki kemungkinan depresi lebih tinggi sebesar 6,6 persen dibandingkan non-perokok yang hanya 2,9 persen. Hal senada juga dibuktikan The Epidemiologic Catchment Area (ECA), 70 persen pria perokok dan 80 persen wanita perokok mengalami depresi. Selain itu, mereka juga menemukan sekitar 30 persen perokok memiliki gejala depresi.
Penyebabnya, menurut peneliti adalah nikotin. Nikotin berperan sebagai stimulan yang memproduksi neurotransmiter pada otak. Konsekuensinya, otak menjadi ketagihan dan tak bisa bekerja dengan benar tanpa nikotin. Setelah 20 – 30 menit perokok tidak menyentuh rokok, kadar nikotin pada otak mulai turun dan memicu kecemasan. Hal ini kemudian berkaitan dengan depresi.
Penelitian lain yang diterbitkan oleh British Journal of Psychiatry di tahun 2010 menemukan hal yang hampir sama. Mereka mengamati 1265 partisipan mulai lahir hingga berusia 25 tahun.
Hasilnya, peneliti menemukan bahwa ketergantungan nikotin dan depresi memiliki hubungan saling berkaitan. Terdapat kaitan langsung antara ketergantungan terhadap nikotin pada depresi.