Stovia, Institusi Pendidikan Dan Persemaian Semangat Pergerakan Nasional Indonesia di Masa Kolonialisme

| Dilihat 3688 Kali

Stovia, Institusi Pendidikan Dan Persemaian Semangat Pergerakan Nasional Indonesia di Masa Kolonialisme
Stovia, Institusi Pendidikan Dan Persemaian Semangat Pergerakan Nasional Indonesia di Masa Kolonialisme

Tulisan ini akan membahas sedikit tentang sejarah dunia medis Indonesia. tentang bagaimana Kampus STOVIA (School tot Opleiding voor Indische Artsen) mencetak intelektual bidang medis yang turut berperan serta dan memiliki kontribusi besar dalam perjuangan merebut kemerdekaan Bangsa Indonesia. Sejarah kedokteran kita mencatat nama-nama besar dokter-dokter pengabdi dan pejuang.

Momentum pendidikan kedokteran di Indonesia sejatinya lahir pada 2 Januari 1849 lewat keputusan Gubernemen No. 22 tentang penyelenggaraan pendidikan kedokteran di Indonesia (Nederlandsch Indie), yang ketika itu dilaksanakan di Rumah Sakit Militer. Dua tahun berselang, Januari 1851 sekolah pendidikan kedokteran dibuka di Weltevreden, Batavia—kini di sekitar Sawah Besar, RSPAD Gatot Subroto hingga Museum Gajah.

Pemerintah Hindia Belanda yang saat itu kewalahan melawan wabah malaria yang melanda memutuskan untuk tidak mendatangkan dokter dari Eropa karena akan memakan biaya besar dan lebih memilih mendirikan sekolah pendidikan dokter bagi kaum pribumi(tamatan sekolah Belanda).

Sebanyak 12 orang siswa diluluskan dan diberi gelar ‘Dokter Djawa’ setelah menempuh pendidikan selama dua tahun. Meski diberi gelar dokter, lulusan-lulusan dokter hanya dipekerjakan sebagai ‘mantri cacar’. Sepuluh tahun berselang, Pada tahun 1864, lama pendidikan diperpanjang menjadi tiga tahun, barulah setiap lulusan memperoleh wewenang untuk menjadi dokter yang berdiri sendiri, walau masih di bawah pengawasan dokter-dokter Belanda.

Setelah mengalami banyak perombakan, barulah pada tahun 1898, sekolah pendidikan dokter yang sebenarnya didirikan dengan nama STOVIA. Pada tahun 1902, masa pendidikan STOVIA ditambah menjadi sembilan tahun dengan pembagian dua tahun pengenalan dan tujuh tahun pendidikan kedokteran.

Setahun berselang, pada tahun 1903, sistem penerimaan mahasiswa baru STOVIA diubah. Jika sebelumnya hanya menerima tamatan dari sekolah Belanda, pada tahun 1903 STOVIA mulai menerima siswa-siswa tamatan sekolah pribumi. Tidak hanya itu, siswa STOVIA dibebaskan dari kewajiban membayar serta mendapat alat-alat kuliah dan seragam gratis.

Banyak mahasiswa STOVIA berasal dari keluarga-keluarga kurang mampu. Sempat dianggap sebagai sekolah orang miskin, banyak putra-putra priayi dari kalangan tinggi enggan masuk STOVIA. Namun justru, anak-anak dari kalangan miskin inilah muncul tokoh-tokoh militan, baik sebagai dokter maupun pejuang.

Untuk bersekolah di STOVIA bukan hal mudah, siswanya harus melalui ujian yang ketat dan wajib belajar sangat keras. Hal inilah yang kemudian menghasilkan tokoh-tokoh bangsa dari kalangan priayi, seperti Wahidin Sudirohusodo dan Tjipto Mangoenkoesomo.