Mitos dan Fakta Seputar Vaksin

| Dilihat 3506 Kali

Mitos dan Fakta Seputar Vaksin
Mitos dan Fakta Seputar Vaksin

Sekitar sepertiga waktu anak dihabiskan di sekolah setiap hari, enam hari dalam seminggu. Dalam rentang waktu itu, banyak penyakit yang dapat menulari anak selama berada di sekolah, mulai dari influenza, typhoid, hepatitis A, hingga diare. Kemungkinan tertular semakin besar ketika anak tak memiliki kekebalan tubuh yang cukup. Salah satu cara mendapatkan kekebalan itu adalah melalui imunisasi lengkap.

Agustus merupakan bulan imunisasi anak sekolah nasional. Namun masih banyak orang tua yang menganggap imunisasi di usia sekolah tak lagi diperlukan. Bahkan, sebagian orang tua hanya membawa bayi mereka ke fasilitas kesehatan untuk mendapatkan imunisasi pada saat baru lahir saja. Mereka tak pernah datang kembali untuk melengkapi imunisasi anak mereka.

Keraguan orang tua terhadap manfaat imunisasi bukanlah hal baru. Sejak diluncurkannya program imunisasi, selalu saja ada suara kontra terhadap vaksin yang disuntikkan ke dalam tubuh anak. Meski demikian, imunisasi lengkap hingga kini masih terbukti menjadi langkah paling efektif untuk melindungi anak dari serbuan penyakit menular.

Berikut sejumlah mitos dan fakta yang perlu Anda ketahui seputar vaksin:

  1. Jika kebersihan dan sanitasi terjaga baik, kuman dan virus penyakit otomatis hilang, sehingga vaksin tak lagi diperlukan.

SALAH. Faktanya, penyakit-penyakit yang telah kita hadang dengan vaksinasi akan kembali menyerang, jika kita berhenti dari program vaksinasi. Higienitas yang terjaga, mencuci tangan, dan menggunakan air bersih hanya akan melindungi manusia dari penyakit menular. Infeksi dari kuman-kuman dan virus penyebab penyakit tetap terjadi, sebersih apa pun kita menjaga diri dan lingkungan. Jika kita tidak divaksin, penyait-penyakit yang sudah tak umum lagi, seperti polio dan campak, akan mewabah kembali.

  1. Anak lebih baik mendapatkan kekebalan tubuh dari penyakitnya sendiri daripada lewat vaksin.

SALAH. Faktanya, vaksin berinteraksi dengan sistem kekebalan tubuh untuk memproduksi respon imun yang mirip dengan yang diproduksi saat terjadi infeksi alamiah, namun hal ini tidak sampai membuat tubuh menjadi sakit atau menyebabkan anak yang diimunisasi berisiko menderita komplikasi dari hal itu. Mendapatkan kekebalan tubuh dari penyakit yang diderita justru berisiko lebih tinggi, misalnya menderita keterbelakangan mental akibat virus Haemophilus influenzae tipe b (Hib), kanker hati dari virus hepatitis B, atau kematian akibat virus campak.

  1. Vaksin menyebabkan autisme.

SALAH. Faktanya, pada  1998, hasil penelitian yang menghubungkan vaksin campak, gondok, rubella (MMR) dengan kejadian autisme terbukti cacat. Makalah tentang penelitian itu kemudian ditarik oleh jurnal yang menerbitkannya. Namun, publikasi yang telanjur terjadi menimbulkan kepanikan orang tua. Tingkat imunisasi pun sempat turun. Hingga kini tidak ada bukti yang menyatakan vaksin MMR menjadi penyebab autisme.

  1. Vaksin tidak memberikan jaminan 100 persen seseorang tak akan pernah sakit.

BENAR. Dengan mendapatkan vaksin flu, misalnya, seseorang akan tetap terserang influenza, namun dampaknya tidak akan terlalu parah. Demikian pula dengan vaksin cacar air, hanya 80 persen melindungi dari penularannya, namun 100 persen melindungi dari penyakit yang lebih serius. (*)