Distopia Rokok. Terjebak “Nikmat” dalam Jerat Kemiskinan dan Kematian
Tingginya angka perokok di Indonesia bukan tak menuai polemik berkepanjangan. Setidaknya ada tiga hal yang akan paling disoroti dari kerugian akibat rokok. Risiko akan penurunan kualitas pada usia produktif, kerugian makro-ekonomi, dan tingginya angka mortalitas dini akibat rokok.
Pada kualitas usia produktif, secara tanpa disadari kebiasaan merokok memengaruhi angka produktivitas. Merokok akan menurunkan kualitas dan kapasitas kinerja paru-paru, padahal kondisi paru-paru akan sangat memengaruhi kondisi dan aktivitas fisik tubuh. Oleh karena itu, semakin lama individu merokok, maka akan semakin menurun produktivitas kerja. Karena kondisi fisik tubuh kita semakin lemah dan renta.
Rendahnya produktivitas tenaga kerja Indonesia, sebagaimana diungkapkan oleh Asian Productivity Organization (APO) tahun 2015, tingkat produktivitas tenaga kerja Indonesia berada di bawah Malaysia dan Thailand bahkan Sri Lanka. Ironis jika mengingat Indonesia sebagai negara dengan jumlah penduduk paling tinggi, namun produktivitas rendah.
Sedang pada kondisi perekonomian Indonesia, cukai rokok yang sering dianggap paling menguntungkan dari sisi pendapatan negara. Ternyata fakta yang terjadi tidaklah demikian, jika dibandingkan dengan faktor risiko kerugian yang diterima.
Hal ini diungkapkan dalam penelitian Soewarta Kosen (Policy Researcher, Kementerian Kesehatan RI) bersama dengan WHO Indonesia, yang bertajuk Riset terbaru: kerugian ekonomi di balik konsumsi rokok di Indonesia hampir Rp600 triliun.
Riset tersebut menunjukan kerugian makro-ekonomi akibat konsumsi rokok di Indonesia pada tahun 2015 mencapai Rp600 triliun. Angka kerugian tersebut empat kali lebih besar dibandingkan jumlah cukai rokok pada tahun tersebut (hanya menyumbang Rp 139,5 triliun).
Kerugian yang diderita negara tak lain adalah karena tingginya risiko beban penyakit dan meningkatnya angka kematian akibat jumlah perokok yang terus meroket. Hal tersebut menyebabkan defisit keuangan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan terkait klaim hak fasilitas kesehatan.
Tak lebih dari jerat kemiskinan dan kematian
Pesatnya peningkatan konsumsi tembakau di Indonesia dalam kurun waktu 30 tahun terakhir dipengaruhi oleh beberapa faktor, di antaranya; tingginya angka pertumbuhan penduduk, harga rokok yang relatif murah, pemasaran yang leluasa dan intensif oleh industri rokok, dan sikap tak acuh akan bahaya yang ditimbulkan tembakau.
Yang lebih ironis, catatan “keberhasilan” bisnis rokok di Indonesia “dipercantik” dengan adanya fakta bahwa perokok di Indonesia, usianya semakin muda. Tobacco Control Atlas ASEAN menunjukan data di mana jumlah perokok di bawah umur di Indonesia sudah kepalang mengkhawatirkan. 30 persen anak Indonesia mulai merokok bahkan sebelum genap berusia 10 tahun. Diperkirakan jumlahnya mencapai 20 juta anak, dan terus naik tiap tahunnya.
Pada kasus perokok di bawah umur, banyak dari mereka tak acuh akan risiko dan bahaya dari merokok. Anak-anak dan penjaja sebenarnya sadar bahwa merokok bukan hal baik, bahkan tak jarang dari mereka sudah tahu Peraturan Pemerintah mengatur bahwa membeli, dibelikan, dan/atau diberikan rokok itu dilarang pada anak di bawah usia 18 tahun. Mereka tahu betul bahwa rokok membahayakan kesehatannya, sayangnya mereka juga sadar kalau merokok sudah merupakan hal yang wajar dan biasa di kalangan masyarakat.
Lebih lanjut, fakta yang menunjukan sekitar 70% perokok di Indonesia justru berasal dari kalangan keluarga miskin. Disebutkan bahwa, belanja rumah tangga masyarakat miskin untuk rokok menempati urutan ketiga tertinggi setelah makanan siap saji dan beras, dan kesehatan serta pendidikan.
Kecenderungan lebih rela keluar uang dalam jumlah cukup besar untuk rokok dibandingkan untuk biaya peningkatan taraf hidup seakan sudah biasa di kalangan perokok di Indonesia. menurut data dari Kementerian Kesehatan RI pada tahun 2010, kebiasaan merokok menyebabkan pengeluaran tak perlu sebesar Rp231,27 triliun untuk sesuatu yang nir-manfaat.