Jasmerah! Sumbangsih Dokter Kariadi Pada Masa Kemerdekaan Indonesia

| Dilihat 3678 Kali

Jasmerah! Sumbangsih Dokter Kariadi Pada Masa Kemerdekaan Indonesia
Jasmerah! Sumbangsih Dokter Kariadi Pada Masa Kemerdekaan Indonesia

“Bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai jasa para pahlawannya” demikianlah salah satu kutipan dari Presiden Soekarno akan kecintaannya pada perjuangan Bangsa Indonesia. Sebagai  salah satu bapak pendiri bangsa, Soekarno mewanti-wanti segenap rakyat Indonesia agar tak lupa, bahwa kemerdekaan dan kedaulatan bangsa yang saat ini kita dapat ialah buah dari kerja keras dan pengorbanan tiada tara dari pahlawan-pahlawan pejuang kemerdekaandi bidangnya masing-masing.

Tak hanya angkatan bersenjata, sumbangsih perjuangan melawan penjajah juga datang lewat tenaga medis. Mari sejenak kita ikuti napak tilas perjuangan salah satu pejuang kemerdekaan di jalur medis dari sosok dr. Kariadi.

Napak Tilas Warisan Perjuangan Dr. Kariadi

Lahir di kota Malang 15 September 1904, Kariadi kecil menempuh pendidikan awal di Hollandsch Inlandsche School (HIS). Lulus pada tahun 1920, ia kemudian melanjutkan pendidikan ke Nederlandsch Indische Artsen School (NIAS) atau Sekolah Kedokteran untuk Pribumi di Surabaya (1921-1931). Kiprahnya dalam dunia medis bermula saat menjadi asisten tokoh pergerakan, dr. Soetomo, di Centrale Burgerlijke Ziekeninrichting (CBZ) Surabaya.

Dalam perjalanan kariernya, dr. Kariadi berulang kali ditugaskan ke beberapa daerah lintas nusantara seperti ke Manokwari(Papua), Kroya (Banyumas), Martapuradan Semarang.

Pada 1 Juli 1942, dr. Kariadi ditugaskan sebagai Kepala Laboratorium Malaria di RS Pusat Rumah Sakit Rakyat (Purusara)—kini RSUP Dr. Kariadi, Semarang. Tahun 1945, tak lama setelah proklamasi kemerdekaan dikumandangkan, situasi Indonesia justru semakin genting, tak terkecuali Semarang.

Malam sebelum dr. Kariadi wafat, tepatnya 13 Oktober 1945 suasana di Semarang sangat mencekam, situasi semakin memanas ketikaMayor Kido menolak menyerah. Hal tersebut menyulut amarah pemuda dan rakyat, Aula Rumah Sakit Purusara dijadikan markas perjuangan. Para pemuda rumah sakit pun tidak tinggal diam dan ikut aktif dalam upaya menghadapi Jepang.

Tepat pukul 6.30 di hari yang sama, pemuda-pemuda rumah sakit mendapat instruksi untuk mencegat dan memeriksa mobil Jepang yang lewat di depan RS Purusara. Mereka menyita sedan milik Kempetai dan merampas senjata mereka. Sore harinya, para pemuda ikut aktif mencari tentara Jepang dan kemudian menjebloskannya ke Penjara Bulu.

Menjelang maghrib, pasukan Jepang bersenjata lengkap melancarkan serangan balasan dengan merebut sumber air minumreservoir Siranda bagi warga Kota Semarang yang tengah dijaga delapan anggota polisi istimewa. Kedelapan anggota Polisi Istimewa disiksa kemudian dibawa ke markas Kidobutai, Jatingaleh. Sore itu tersiar kabar tentara Jepang menebarkan racun ke dalam reservoir itu. Rakyat pun menjadi gelisah.

Mendengar kabar tersebut, Rumah Sakit Purusara mengambil tindakan dengan menelepon dr. Kariadi agar segera memeriksa kebenaran desas-desus tersebut.

Sebagai Kepala Laboratorium Rumah Sakit Purusara, dr. Kariadi segera memutuskan untuk mengambil tindakan pengecekan. Istri dr. Kariadi, drg. Soenarti mencoba mencegah suaminya pergi mengingat situasi sangat berbahaya karena tentara Jepang telah melakukan serangan di beberapa tempat termasuk di jalan menuju ke Reservoir Siranda.

Dr. Kariadi berpendapat lain, ia harus menyelidiki kebenaran desas-desus itu karena menyangkut nyawa ribuan warga Semarang. Namun malang, mobil yang ditumpangi dr. Kariadi dicegat tentara Jepang tengah perjalanan menuju lokasi, dr. Kariadi dan sopir yang mendampinginya dieksekusi secara keji di tempat.

Sempat dilarikan ke rumah sakit, nyawa dr. Kariadi tak tertolong. Ada dua hal yang menyulut amarah warga Semarang. Yang pertama adalah keputusan Mayor Kido menolok menyerah padahal proklamasi sudah dikumandangkan, kedua adalah semangat dr. Kariadi dalam perjalan menyelidiki kabar tentara Jepang meracunireservoir Siranda.

Kemarahan rakyat yang tak terbendung meletupkan pertempuran bersejarah di Semarang dari 15 Oktober hingga 20 Oktober 1945, yang kini kita kenal dengan sebutan “Pertempuran lima hari di Semarang”.