Langkah Pemerintah Dalam Penanganan Vaksin Palsu

| Dilihat 1592 Kali

Langkah Pemerintah Dalam Penanganan Vaksin Palsu
Langkah Pemerintah Dalam Penanganan Vaksin Palsu

Pada tanggal 21 Juni 2016, Direktorat Tindak Pidana Ekonomi Khusus Badan Reserse Kriminal Polri (Bareskrim Polri) menemukan adanya dugaan vaksin palsu yang beredar di masyarakat berdasarkan hasil patrol cyber  atas penjualan vaksin dengan harga tak sesuai harga pasar. Penyelidik Bareskrim menelusuri dari penjualan dan transaksi vaksin yang dicurigai palsu hingga penyisiran ke toko obat atau apotek yang melakukan penjualan. Dari penyelidikan itu, Bareskrim berhasil mengetahui adanya mata rantai dari produsen hingga distributor gelap.

Melalui penelusuran penyidik Bareskrim, ditemukan empat produsen palsu dan jaringan distributor serta tiga pengumpul botol bekas vial vaksin asli serta seorang pencetak label. Menyikapi hal ini, Kementerian Kesehatan bersama Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM) dan lkatan Dokter Anak Indonesia mengadakan konferensi pers pada tanggal 24 Juni 2016. Dalam konferensi pers tersebut dijelaskan adanya peredaran vaksin palsu yang belum dapat diketahui kandungan isi dan proses pembuatannya. Pada saat itu, BPOM meminta barang sitaan kepada Bareskrim untuk diperiksa di laboratorium. Berdasarkan keterangan sementara Bareskrim, vaksin palsu diduga berisi cairan infus dan gentamycin. Menanggapi hal ini, lkatan Dokter Anak Indonesia menjelaskan bahwa dampak vaksin palsu adalah tidak diperolehnya kekebalan tubuh terhadap penyakit tertentu sesuai dengan jenis vaksin palsu yang diterima.

Berdasarkan hasil Rapat Dengar Pendapat Komisi IX DPR Rl bersama Kementerian Kesehatan, Badan Pengelola Obat dan Makanan, PT. Biofarma, lkatan Dokter Anak Indonesia dan Bareskrim Polri, dibentuk Satuan Tugas Penanggulangan Vaksin Palsu (Satgas) yang telah langsung bekerja sejak tanggal 30 Juni 2016.

 Beberapa Fakta Tentang Imunisasi

Sebenarnya, apa itu imunisasi dan mengapa setiap anak wajib diimunisasi ?

lmunisasi merupakan proses induksi imunitas secara buatan, baik melalui vaksinasi atau pemberian antibodi. Vaksinasi adalah pemberian vaksin atau toksoid untuk mencegah terjadinya penyakit.

lmunisasi dapat digolongkan menjadi: (1) imunisasi aktif dengan memberikan vaksinasi;(2) imunisasi pasif dengan memberikan antibodi alami melalui transplasenta pada janin dan artifisial dengan memberikan immunoglobulin. Terdapat dua pendekatan untuk melakukan vaksinasi, yaitu menggunakan agen infeksius hidup yang dilemahkan atau dengan ekstrak agen infeksius atau rekombinannya. Cara pemberian dapat disuntikkan dengan cara memasukkan vaksin melalui jaringan otot (intramuscular), disuntikkan ke area bawah kulit

(subkutan) ataupun ke dalam jaringan kulit (intrakutan) seperti untuk vaksin BCG. Vaksin harus disimpan pada 2-8 derajat Celcius.

Karena pentingnya imunisasi ini bagi perlindungan kesehatan masyarakat, Pemerintah memberikan imunisasi dasar wajib tanpa dipungut biaya. Pengadaannya sendiri melalui program imunisasi, dengan alokasi anggaran yang memadai untuk memenuhi penyediaan vaksin bagi seluruh sasaran imunisasi; yaitu 4.869.932 bayi (0-11 bulan); 4.772.462 bayi dibawah 3 tahun (batita) dan 13.972.182 anak Sekolah Dasar (kelas 1,2 dan 3). Pembelian vaksin oleh Pemerintah menggunakan e-katalog untuk memastikan transparansi, ketepatan dan akuntabilitas pada penggunaan anggaran negara.

 Pada tahun 2016 ini, Pemerintah menjamin ketersediaan vaksin BCG untuk TBC sebanyak 35.092.800 vial; vaksin Campak untuk penyakit campak sebanyak 32.883.900 vial; vaksin DPT untuk Difteri, Pertusis dan tetanus, polio untuk mencegah poliomyelitis, vaksin b-OPV tersedia 29.475.200 vial;vaksin hepatitis B untuk hepatitis tipe B dan vaksin Hib untuk influensa. Sedangkan Pentavalen yang merupakan gabungan dari OPT-HB dan Hib, tersedia 9.417.100 vial.

Dengan komitmen kuat Kementerian Kesehatan, hingga pertengahun tahun 2016, cakupan imunisasi di Indonesia berhasil mencapai 92,5% atau di atas target untuk tahun 2016 yaitu 90%. Dengan cakupan imuninasi yang amat baik ini, dijamin masyarakat terlindungi dari penyakit-penyakit dengan skala luar biasa atau KLB. Program imunisasi pemerintah mewajibkan pelaporan pemakaian vaksin secara berjenjang karena diperlukan nilai cakupan sebagai laporan ke WHO. Sedangka untuk kejadian ikutan pascaimunisasi diawasi oleh KIPI (Kejadian lkutan Pasca lmunisasi).

Pemerintah senantiasa menyediakan vaksin baru dalam upaya mencegah penyakit. Saat ini mulai dipakai vaksin HPV untuk kanker serviks dan dimulai digunakan pada usia 12 tahun, agar dalam usia produktif seseorang dapat terhindar dari kanker serviks. Vaksin ini diharapkan mulai dapat diberikan setelah diperoleh anggaran. Dengan menggunakan e-katalog, beberapa daerah telah membeli sendiri vaksin HPV ini dan memberikan ke masyarakat dalam usia tertentu, salah satunya di kabupaten Badung, Bali. Selain itu, mencermati terus berjangkitnya demam berdarah; saat ini vaksin DBD sudah mulai diproduksi namun masih terus disempurnakan hingga efektifitasnya optimal,mengingat terdapat 4 tipe DBD di mana setiap negara memiliki tipe dominan yang berbeda.

Upaya pembuatan vaksin tetap terus dilanjutkan, karena vaksin berfungsi sebagai pencegah penyakit, yang berarti melakukan tindakan preventif. Sementara obat sebagai pengobatan lebih berfungsi untuk untuk mencapai penyembuhan apabila sudah jatuh sakit.Upaya preventif merupakan faktor kunci dalam peta jalan yang akan dicapai dalam pembangunan kesehatan oleh Kementerian Kesehatan. Selain itu, tetap diprioritaskan upaya promotif agar masyarakat mengetahui dan sadar akan pentingnya kesehatan. Pengetahuan kesehatan khususnya pencegahan penyakit sangat diperlukan karena saat ini anggaran Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) sebagian besar digunakan untuk membiayai aspek kuratif.

Penyediaan vaksin yang digunakan untuk program imunisasi Pemerintah dibeli dari PT Biofarma. Indonesia patut berbangga karena PT. Biofarma, yang merupakan Badan Usaha Milik Negara, telah mampu memproduksi dan memenuhi kebutuhan pasardalam negeri untuk vaksin. Sebagai produsen vaksin terbesar keempat di seluruh dunia, PT Biofarma mengimpor berbagai jenis vaksin yang diproduksinya ke 130 negara di dunia.

Sebelum melakukan penjualan, produk vaksin diperiksa (pre-market) oleh BPOM kemudian didistribusikan ke melalui distributor resmi yang, untuk vaksin,berjumlah enam distributor. Rumah sakit tidak boleh melakukan pengadaan vaksin ataupun obat membeli dari distributor yang tidak resmi. Kementerian Kesehatan telah melakukan sosialisasi peraturan perundangan ini. Masyarakat dapat melihat daftar distributor resmi pada Iaman (website)Kementerian Kesehatan Rl.

Melalui distributor resmi, vaksin wajib tersebut didistribusikan ke Oinas Kesehatan Provinsi hingga sampai ke Puskesmas dan Posyandu atau sebanyak 88,9% fasilitas pelayanan kesehatan (fasyankes). Sebanyak 11,9% yakni fasyankes swasta dapat mengambil vaksin dari distribusi resmi, tetapi juga dapat membeli vaksin yang berasal dari impor dengan harga dapat dikatakan cukup mahal. Dalam hal kasus vaksin palsu ini, ditemukan beberapa Fasyankes swasta membeli dari sumber tak resmi sehingga berpotensi memperoleh vaksin palsu.

Secara kronologis, temuan vaksin palsu berawal dari adanya kelangkaan vaksin tertentu di pasar yang bukan merupakan vaksin program pemerintah. Vaksin yang dipalsukan adalah vaksin yang secara tertulis merupakan vaksin impor.

Langkah Pemerintah: Melindungi Masyarakat dan Menanggulangi Dampak Vaksin Palsu

Kementerian Kesehatan telah meminta BPOM untuk melakukan uji laboratorium kandungan isi dari terduga vaksin palsu dari barang sitaan Bareskrim. Uji laboratorium dari jumlah 72 sampel yang berisikan 13 jenis vaksin, diperoleh 7 jenis palsu pada 23 sampel.

Sementara itu BPOM melakukan penyisiran ke rumah sakit yang membeli dari distributor tak resmi. Diperoleh 37 titik di sembilan provinsi dan dari hasil uji laboratorium diperoleh 4 titik dengan sampel palsu. Verifikasi tentang hasil uji sampel di tiap daerah masih terus berlangsung dan akan terus disampaikan kepada masyarakat. Langkah ini diambil agar kewenangan Kementerian Kesehatan dalam melakukan pengawasan distribusi vaksin di fasilitas pelayanan kesehatan, dapat berjalan seiring dan terintegrasi dengan BPOM.

Dari uji laboratorium yang dilakukan BPOM terhadap kandungan terduga vaksin palsu, ditemukan bahwa vaksin diisi dengan vaksin hepatitis B yang diencerkan; Anti tetanus serum (bukan vaksin, tetapi serum untuk mencegah terkenanya tetanus) berisikan cairan NaCL, Anti serum ular terbukti tak berisikan antiserum, Tripacel yang seharusnya berisikan toksoid Oifteri, toksoid tetanus, dan vaksin aseluler nyatanya mengandung antigen pertusis saja.

Langkah utama yang diambil oleh Pemerintah dalam menangani masalah vaksin palsu adalah mengembalikan kekebalan kepada anak yang terpapar vaksin palsu dengan imunisasi wajib yang diulang. lmunisasi ulang diberikan kepada anak yang telah terverifikasi mendapatkan vaksin palsu dari data penyidikan Bareskrim.

Pelaksanaan imunisasi wajib yang diulang didasarkan pada rekomendasi dan pedoman yang dikeluarkan oleh IDAI. Yakni vaksin DPT diberikan kepada bayi dibawah usia satu tahun sebanyak 3 kali dengan interval satu bulan. Untuk anak usia satu hingga 7 tahun, dosis pertama pada hari pelaksanaan, kemudian dosis kedua 2 bulan setelah dosis pertama dan dosis ketiga 6 bulan setelah dosis kedua. Sedangkan anak usia tujuh hingga 18 tahun dosis pertama pada hari pelaksanaan, dosis kedua 2 bulan setelah dosis pertama, dosis ketiga pada enam bulan setelah dosis kedua dan dosis penguatan diberikan 12 bulan setelah dosis ketiga. lmunisasi wajib menggunakan vaksin yang sama atau setara yang disediakan pemerintah atas persetujuan orangtua setelah mendapatkan penjelasan yang benar.

Vaksin yang diberikan adalah vaksin program imunisasi nasional yang diproduksi PT Biofarma yang sama efektifnya dengan vaksin impor. Jika terjadi demam dapat diberikan parasetamol10 mg/kgBB/ kali, setiap 6-8 jam. Kemenkes bersama seluruh jajaran kesehatan bertekad melakukan langkah ini hingga tuntas. Untuk mencapai tujuan tersebut, diperlukan kerjasama semua pihak dan pengertian dari masyarakat untuk mengikuti dan mencatat dalam buku imunisasi anak. Pemberian imunisasi wajib yang diulang juga dapat dilakukan kepada anak yang diragukan menerima vaksin palsu atau tidak setelah dikonsultasikan kepada dokter anak. IDAI menyatakan pemberian imunisasi ulang jika ternyata sudah menerima yang benar, tidak menimbulkan overdosis dan tak memberikan dampak buruk bagi anak.

Langkah selanjutnya yang dilakukan Kementerian Kesehatan adalah perbaikan tata kelola produksi dan distribusi vaksin guna menghilangkan potensi adanya vaksin palsu. Demikian juga regulasi dan pengawasaan pada seluruh tingkatan perlu dibenahi kembali.

Hal yang patut mendapatkan perhatian adalah pengolahan limbah Rumah Sakit. Limbah berupa botol bekas vial vaksin yang tidak dimusnahkan membuka celah untuk diperjualbelikan oleh oknum yang tidak bertanggung jawab. Untuk itu, pengawasan Rumah Sakit perlu diperketat dan diatur secara lebih detil. lni merupakan bagian dari upaya untuk mengembalikan tanggung jawab profesional dan fungsi rumah sakit yang seharusnya menolong kemanusiaan , bukan merusak kesehatan manusia.